Keadilan iklim dalam perdagangan

Lingkungan hidup, hak-hak dan perselisihan tentang kelapa sawit antara Indonesia dan Uni Eropa

Long read by
30 August 2023
Deforested forest.

Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, Indonesia (Foto: Victor Barro, via FlickrCC BY-NC-ND 2.0)

Di saat warga Eropa memanfaatkan produk kelapa sawit sebagai bahan bakar mobil-mobil mereka, banyak warga Indonesia yang hak-haknya dirampas, menderita dan bahkan meninggal dunia sebagai akibat dari proses-proses produksi minyak kelapa sawit

Ferdi Kurnianto, provincial coordinator, Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago

Ferdi Kurnianto melakukan advokasi tentang hak-hak Masyarakat Adat yang terkena dampak perkebunan kelapa sawit di provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, menjabat sebagai koordinator provinsi untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dalam kalimat ini, ia menangkap beberapa kompleksitas terkait keadilan iklim di dunia kita yang saling terhubung ini. 

Seiring dengan dirasakannya tekanan pada ekosistem yang semakin mendekati titik kritis, pemerintah mengambil langkah untuk mempromosikan ekonomi yang 'lebih hijau'. Tetapi, dalam upaya negara-negara dengan konsumsi tinggi untuk mengurangi emisi karbon, mereka sering mengalihdayakan kegiatan-kegiatan yang berbahaya bagi lingkungan tanpa benar-benar mempertanyakan konsumsi yang tidak berkelanjutan yang terjadi, dibantu oleh pengaturan perdagangan yang menghubungkan konsumen dengan produsen di tempat yang jauh.

Demi mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk mobil dan truk, Uni Eropa (UE) mempromosikan penggunaan 'biofuel' seperti biodiesel dari impor minyak sawit – dan hal ini berkontribusi pada perluasan sebaran perkebunan di Indonesia.

Indonesia dengan Kalimantan Tengah

Indonesia, Kalimantan Tengah. Provinsi ini memiliki perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang luas (Gambar: IIED)

Inisiatif bersama antara IIED dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberikan peluang untuk menelaah aturan-aturan perdagangan dari perspektif keadilan iklim, mempertajam pada bagian perdagangan minyak sawit antara Indonesia dan Eropa.

Temuan-temuannya menunjukkan hubungan antara keprihatinan dan aspirasi masyarakat yang terkena dampak budidaya kelapa sawit di Kalimantan Tengah dengan kebijakan-kebikan Eropa dan diskusi perdagangan internasional. Mereka juga menyoroti cara untuk membuat pengaturan perdagangan agar lebih responsif terhadap orang-orang yang paling menanggung dampaknya.

Perdagangan lahan pertanian virtual 

Ketika UE memperkenalkan Renewable Energy Directive (RED) pada tahun 2009, undang-undang tersebut digembar-gemborkan oleh banyak orang sebagai langkah ambisius untuk mengalihkan konsumsi energi dari bahan bakar fosil yang berbahaya. RED menetapkan target baru untuk menggunakan bahan bakar yang dibuat dari tanaman untuk menggerakkan truk dan mobil.

Dalam kurun sepuluh tahun,lebih dari separuh impor minyak sawit UE adalah untuk biodiesel, selain itu, terdapat pula tambahan untuk pemanas dan listrik; membawa impor minyak sawit yang dibakar UE untuk energi menjadi sebesar total 65%.

Ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia ke UE meningkat dari 750.000 ton pada tahun 2000 menjadi hampir 3,4 juta ton pada tahun 2020, dengan peningkatan yang tajam ketika Directive 2009 dibahas dan yang pada puncak berikutnya mencapai lebih dari 3,7 juta ton (lihat bagan).

Sumber: Data Eurostat

Ditambah dengan permintaan di pasar lain, seperti India, ledakan ekspor ini memicu pesatnya pertumbuhan industri kelapa sawit Indonesia, yang pertama kali didirikan pada masa kolonialisme dan berkembang setelah masa kemerdekaan. Lembaga swadaya masyarakat FERN memperkirakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang dari 9,6 juta hektar pada tahun 2012 menjadi sekitar 14 juta pada tahun 2019.

Hal ini berkontribusi dalam menjadikan UE sebagai pengimpor bersih utama lahan pertanian virtual/virtual farmland (PDF) – suatu istilah yang menunjukkan bahwa konsumsi Eropa sangat bergantung pada budidaya lahan di luar negeri. Menurut data dari tahun 2017, semakin banyak jejak ‘daratan virtual’ UE dalam bentuk perkebunan kelapa sawit, khususnya di Asia Tenggara.

Sebuah masalah keadilan iklim

Di Indonesia, jutaan orang bekerja di sektor kelapa sawit, termasuk sebagai pekerja perkebunan dan petani kecil yang terintegrasi ke dalam rantai pasok perusahaan. Pemerintah telah mengedepankan ekspansi industri sebagai bagian dari strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, kelapa sawit juga melahirkan transformasi besar di wilayah-wilayah pedesaan Indonesia. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian oleh Tania Li dan Pujo Semedi (PDF) model perkebunan memungkinkan korporasi untuk mengambil alih pengelolaan ruang, waktu, alam, dan manusia di wilayah yang sangat luas.

Penyebaran kelapa sawit telah menggusur pemilik tanah adat, memicu munculnya ribuan sengketa lahan, menimbulkan kekhawatiran tentang kondisi tenaga kerja, serta mendorong deforestasi, polusi, dan perusakan habitat alami.

Mereka yang berpartisipasi dalam penelitian aksi yang difasilitasi oleh YLBHI dan IIED, baik peneliti lelaki maupun perempuan, menyoroti dampak luas dari tekanan tersebut terhadap ruang hidup masyarakat adat di Kalimantan Tengah.

Muhammad Habibi, seorang aktivis Save Our Borneo, dan Ferdi Kurnianto menekankan bahwa kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kelapa sawit terkait erat dengan masalah sosial – termasuk perampasan lahan, berkurangnya akses ke situs budaya dan lahan penangkapan ikan atau perburuan, serta tergerusnya cara hidup tradisional.

Dengan cara ini, kebijakan-kebijakan energi terbarukan UE mengalihkan biaya sosial dan lingkungan dari transisi iklim Eropa kepada masyarakat di Indonesia. Para advokat di Kalimantan Tengah telah bergerak untuk melindungi hak atas tanah masyarakat, mendokumentasikan dan menghidupkan kembali tradisi mereka, menyelidiki izin perusahaan dan mendukung para pembela hak atas tanah terkait intimidasi yang mereka alami. 

Wawancara dengan Muhammad Habibi, yang menjelaskan bagaimana penggantian hutan dengan perkebunan kelapa sawit mempengaruhi keberlanjutan lingkungan dan menyebabkan konflik (Video: IIED)

Wawancara dengan Ferdi Kurnianto, yang menggambarkan bagaimana perkebunan kelapa sawit merampas ruang hidup Masyarakat Adat (Video: IIED)

Ironisnya, produksi minyak sawit skala industri di Indonesia merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca, berpotensi menghambat penurunan emisi yang ingin dicapai Eropa melalui transisi energi terbarukannya.

Karena pembakaran hutan adalah metode umum yang dilakukan untuk membuka lahan, perubahan penggunaan lahan menjadi inti dari masalah ini, terutama pada lahan dengan stok karbon tinggi seperti hutan, lahan basah, serta lahan gambut.

Ini termasuk pembukaan lahan untuk membuat perkebunan kelapa sawit. Ini juga mencakup apa yang disebut 'perubahan penggunaan lahan tidak langsung' (ILUC) – deskripsi yang diperhalus untuk menggambarkan proses di mana pemilik lahan yang dirampas oleh kelapa sawit membuka hutan di tempat lain untuk menanam tanaman pangan mereka.

People holding banners written in Indonesian.

Protes terhadap pengembangan kelapa sawit di Kalimantan Tengah (Foto: AP AMAN Kalteng) 

Perubahan kebijakan-kebijakan publik 

Aktivis Indonesia tahu bahwa pemerintah telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan perkebunan dan mereka pun mengetahui tentang hubungan erat antara otoritas publik dan kaum oligarki yang memiliki kepentingan dalam industri ini. Namun, mereka juga melihat peran Eropa dalam mendorong permintaan minyak sawit.

Para aktivis telah melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan dan undang-undang nasional Indonesia, termasuk untuk memperkuat pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat. Mereka membentuk koalisi nasional, melakukan kampanye publik, dan terlibat dengan media.

Mereka juga telah menjalin aliansi dengan para aktivis lingkungan hidup di Eropa. Advokasi ini telah membantu mencapai perubahan kebijakan, termasuk amandemen EU RED tahun 2015 serta 'penyusunan ulang' Arahan/Directive secara penuh pada tahun 2018.

Arahan 2018 tersebut – RED II – mewajibkan anggota UE untuk mendapatkan setidaknya 14% energi untuk transportasi mereka dari energi terbarukan pada tahun 2030. Hal penting, RED yang direformasi tersebut memiliki tujuan untuk mengatasi dampak lingkungan dari energi terbarukan secara lebih lengkap: kontribusi biofuel berisiko ILUC tinggi terhadap target transportasi terbarukan dibatasi dan akan dihapus dan dikecualikan dari dukungan keuangan. Produk yang secara khusus disertifikasi sebagai risiko ILUC rendah dikecualikan.

Peraturan pelaksana UE selanjutnya menetapkan metodologi yang digunakan untuk menilai risiko ILUC. Berdasarkan analisis empiris  tentang penyebaran budidaya kelapa sawit, UE mengidentifikasi minyak sawit sebagai biofuel berisiko ILUC tinggi – satu-satunya bahan baku yang ditampilkan dalam kategori ini.

Motorbike riding on a dirt road surrounded by nature.

Sebuah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Kalimantan Tengah membangun sebuah jalan yang menggantikan hutan alam. Dengan menghilangnya hutan, hilang pula budaya berburu di desa tersebut. (Foto: AP AMAN Kalteng)

RED II adalah bagian dari upaya UE yang lebih luas untuk mengatasi dampak merugikan dari permintaan komoditas oleh Eropa. Misalnya, UE telah mengadopsi Peraturan Deforestasi yang mengatur tanaman yang dianggap sebagai pendorong utama deforestasi global, termasuk minyak sawit. Peraturan ini mengharuskan perusahaan untuk memastikan bahwa produk yang mereka jual di UE tidak terkait dengan deforestasi.

Dari aksi lingkungan hidup hingga sengketa dagang

Sementara itu, pemerintah Indonesia melihat RED II dan langkah-langkah implementasinya sebagai skema proteksi yang merugikan eksportirnya yang melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang mewajibkan negara untuk tidak mendiskriminasi impor dari mitra dagang.

Meskipun ketentuan Uni Eropa tidak melarang minyak kelapa sawit, mereka secara signifikan mengurangi dukungan pasar dan keuangan untuk mengekspor minyak kelapa sawit yang tidak bersertifikat ke Uni Eropa. Dan meskipun RED II dirumuskan secara netral, instrumen penerapannya mengacu pada minyak kelapa sawit – komoditas yang bisa dibilang tidak diproduksi di UE.

Pemerintah Indonesia mengajukan pengaduan ke WTO dan, pada tahun 2020, WTO membentuk sebuah panel untuk mengambil keputusan terkait sengketa tersebut . Panel akan menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh UE mendiskriminasi produk Indonesia dan, jika demikian, apakah tindakan tersebut dibenarkan berdasarkan pengecualian WTO terkait lingkungan hidup.

Trade lawyers (konsultan hukum perdagangan internasional) telah menawarkan tanggapan teknis di mana  argumen hukum  cenderung mendapatkan daya tarik lebih. Namun dari sudut pandang kebijakan, kisah minyak sawit menyoroti pertanyaan tentang apakah peraturan perdagangan internasional cukup menjawab masalah keadilan iklim.

Kebangkitan ‘pembangunan berkelanjutan’ dalam perjanjian dagang

Isu sosial dan lingkungan hidup semakin menonjol dalam perjanjian dagang. Dalam pembukaannya,  Perjanjian Pembentukan WTO  tahun 1994 mengacu pada 'tujuan pembangunan berkelanjutan'. Dan dalam putusan tahun 1998 (PDF), Badan Banding/Appellate Body WTO menyatakan bahwa tujuan ini harus ‘menambah warna, tekstur dan nuansa’ pada interpretasi semua aturan WTO.

Aturan-aturan WTO juga memungkinkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang 'diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan ataupun tumbuhan' atau yang 'berkaitan dengan upaya pelestarian sumber daya alam yang terhabiskan' jika langkah-langkah tersebut memenuhi persyaratan tertentu.

Man walks on river.

Di Kalimantan Tengah, seorang pria menggunakan jala untuk menangkap ikan di sungai. Penduduk desa merasa bahwa polusi yang disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit berskala besar membuat mereka semakin sulit menangkap ikan. (Foto: AP AMAN Kalteng)

Banyak perjanjian perdagangan regional dan bilateral berisi ketentuan 'pembangunan berkelanjutan' yang melampaui peraturan WTO. UE selama ini telah memimpin di tdalam proses ini, di mana ahli hukum dagang Clair Gammage gambarkan sebagai ‘pergeseran paradigma’; beberapa tahun belakangan ini, UE secara konsisten menegosiasikan bab tentang keberlanjutan dalam perjanjian-perjanjian perdagangannya.

Dalam perjanjian dagang  antara UE dan Vietnam, misalnya, kedua belah pihak menegaskan kembali kewajiban mereka berdasarkan Perjanjian Paris dan perjanjian lingkungan hidup multilateral lainnya dan membuat komitmen untuk meratifikasi dan mematuhi instrumen internasional utama tentang hak-hak buruh.

Semua ini merupakan kemajuan yang signifikan, tetapi masih banyak yang harus dilakukan: salah satunya, walaupun tenaga kerja dan lingkungan hidup merupakan isu penting, pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang lebih menyeluruh. Sengketa seputar industri kelapa sawit Indonesia menyoroti kekhawatiran tidak hanya tentang iklim dan alam tetapi juga tentang tanah dan hak-hak Masyarakat Adat. 

Di mata komunitas masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak operasi kelapa sawit, kerusakan lingkungan terkait erat dengan perampasan lanah dan pelindasan budaya dan cara hidup tradisional. Diskusi teknokratis tentang perubahan penggunaan lahan tidak membahas mengenai dampak nyata dari perubahan distributif dalam hak atas tanah dan kontrol teritorial.

Perjanjian dagang sedang diuji

Sengketa kelapa sawit di WTO menawarkan sebuah uji kasus tentang bagaimana lembaga perdagangan multilateral membingkai dan menyelesaikan perselisihan yang melibatkan dimensi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang kompleks. 

 Kebuntuan yang mempengaruhi lembaga-lembaga penyelesaian sengketa membuat implementasi putusan WTO semakin tidak pasti. Namun, keputusan tersebut akan dapat mengirimkan sinyal penting terkait sejauh mana sistem WTO dapat memastikan bahwa langkah-langkah keberlanjutan seperti RED II dilakukan dengan ketat dan adil, sembari juga tidak menghalangi upaya-upaya untuk menciptakan perdagangan yang lebih berkelanjutan. 

Sementara itu, UE dan Indonesia telah merundingkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif/Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), yang akan mencakup perdagangan barang, juga jasa, investasi, hak kekayaan intelektual, dan persaingan usaha. Diluncurkan pada tahun 2016, negosiasi berjalan lambat, sebagian dikarenakan oleh sengketa kelapa sawit.

Sejalan dengan perjanjian UE sebelumnya, rancangan bab tentang pembangunan berkelanjutan dalam versi yang tersedia bagi publik yang dibuat olehsecara kuat berfokus pada tenaga kerja dan lingkungan hidup. Mengintegrasikan persyaratan yang ketat pada hak atas tanah dan hak Masyarakat Adat dapat memperkuat argumentasi mereka yang bekerja demi penguatan hak-hak tersebut dalam menghadapi ekspansi kelapa sawith serta demi mengubah kebijakan nasional di Indonesia.  

Merancang klausul perjanjian baru tentang hak-hak Masyarakat Adat dapat dibangun di atas praktik yang baru bermunculan, seperti proses di mana pemerintah selandia Baru terlibat dengan masyarakat Māori dalam negosiasi perjanjian dagangnya. Klausul perjanjian baru tentang tanah dan hak Masyarakat Adat juga dapat melakukan rujuk-silang pada instrumen-instrumen internasional yang ada: Pedoman Sukarela tentang Tata Kelola Tenurial yang Bertanggung Jawab/Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure, Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat/United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (PDF) dan Deklarasi PBB tentang Hak Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan/United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas.

Aerial view of pal oil plantations.

Perkebunan kelapa sawit yang baru saja ditanam di lahan gambut hutan hujan di Kalimantan Tengah, Indonesia (Foto: Glenn Hurowitz, via Flickr, CC BY-ND 2.0)

Keberlanjutan untuk siapa?

Namun demikian, bahkan klausul baru ini akan gagal menghadapi pertanyaan yang lebih mendasar yang diajukan oleh perjanjian dagang yang medorong monokultur skala besar dengan mengorbankan alam dan sistem pertanian lokal. Kelapa sawit menyoroti bagaimana konsumsi di Eropa mendorong timbulnya masalah sosial dan lingkungan di Indonesia.

Peraturan Deforestasi UE mencerminkan upaya yang patut dipuji untuk mengatasi dampak yang terkait dengan konsumsi komoditas pertanian dalam skala besar. Namun, peraturan tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang ekonomi kaya yang secara sepihak memaksakan aturannya pada apa yang dianggap berkelanjutan. Hal ini memicu kekhawatiran besar di negara-negara produsen, dengan pemerintah Indonesia menuduh UE atas ‘imperialisme regulasi’.

Menurut Giorgio Budi Indrarto, wakil direktur organisasi nirlaba Indonesia, Madani, Peraturan tersebut masih bisa menjadi peluang untuk menerapkan undang-undang Indonesia secara lebih efektif, daripada menjadi sumber sengketa perdagangan baru, tetapi hanya jika UE mengambil pendekatan yang lebih kolaboratif, termasuk dengan masyarakat sipil dan petani kelapa sawit skala kecil di Indonesia.

Undang-undang keberlanjutan seperti RED II dan Peraturan Deforestasi menyoroti gema ekstrateritorial yang dapat digaungkan oleh kebijakan-kebijakan domestik, dan nilai dari pengawasan dan advokasi masyarakat sipil, dalam hubungannya tidak hanya dengan perjanjian dan negosiasi internasional, tetapi juga dengan pengaturan transnasional yang mengatur perdagangan global.

Namun, pada akhirnya, upaya memajukan keadilan iklim secara serius akan membutuhkan pemikiran ulang terkait pola konsumsi di negara-negara kaya, mengurangi ketergantungan kita pada penggunaan mobil, serta medorong terbentuknya komunitas masyarakat yang lebih berkelanjutan dan adil. Para aktivis di Kalimantan Tengah menyatakan skeptisisme yang mendalam terhadap agenda keberlanjutan top-down yang tidak menangani hal-hal fundamental dan, dalam praktiknya, memungkinkan konversi hutan skala industri.

Seperti dicatat Ferdi Kurnianto, bagi banyak masyarakat desa, keberlanjutan bukan hanya tentang bagaimana kelapa sawit dibudidayakan; itu 'berkaitan dengan ruang hidup mereka, ... makanan mereka, ... dan generasi mereka'. Ini tentang suara siapa yang diperhitungkan, visi 'pembangunan' siapa yang diprioritaskan dan jenis pengaturan dagang apa yang dapat membantu mewujudkan visi tersebut.


Bacaan panjang ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris